biar saja

Kita mengawali semua ini dengan kebosanan. Masih kuingat jelas wajahmu yang mengantuk dengan rona merah di wajahmu. Aku pun wajarnya mengantuk, tak banyak yang bisa kita rasakan waktu itu. Rupanya perlu waktu juga bagiku untuk menyukaimu. Selama ini kupikir pelana kuda itu penting dan tali pengekang juga. Tapi anak kecil itu lucu ketika dia berlari sendiri. Biar saja orang tuanya lari mengejar-ngejar.

senyum

Aku sedang tidak berargumen. Tidak. Itu menyusahkan. Aku mengeluh, karena aku lupa. Apakah aku melihat senyummu tadi pagi? Ah, sudah lama aku tidak berkaca.

sejenak

Ingatlah segala kesakitan yang kau tahu pasti datang. Bukankah kau sendiri yang mengemasnya? Membukanya lalu menghisap dan mengecapnya kala sore di beranda rumahmu? Tahun yang penuh marabahaya kau menyebutnya dalam kewaspadaan yang sangat rendah. Menghiraukannya seperti lembaran soal ujian yang sukar.

suatu siang

Seperti siang ini aku dihadapkan pada pilihan terbuka. Mencuci baju akan berguna karena besok aku harus tampil baik. Menonton tv juga perlu, entah sudah berapa lama ia tak menyala. Aku melihat penyanyi-penyanyi ini mencoba kualitasnya, dan aku tak merasa mereka benar-benar baik. Seperti ada jarak yang mengherankanku, karena banyak yang menyukai mereka tapi aku tidak. Mereka seperti lelucon tapi tidak cukup menyentil saraf tawaku.

hallelujah

it's moonlight and the sky is bright
a lady in her solitude makes a cup of tea with tears crawling on her cheek, dancing with the
sounds of spoon hitting the cup gently, no sugar for her tea tonight.
a kid with old white papers in his hand trying to draw the beauty of the moon, but all he can see is the dim of a car's lights.
a criminal running with hundreds of people chasing behind, screaming as it is the best word to say 'I'm sorry"
the dark clouds parade and kill the moonlight
wait and you'll see the black clouds, the lady, the kid and the criminal, holding hands, together they sing
hallelujah...
hallelujah...
hallelujah..
hallelujah..

mengenang

saat terbaik untuk mengenang adalah ketika menunggu.
seperti memutar film kuno kita mengenang melalui kritik kita pada ke-kuno-an.
tentang bagaimana jaman sudah berganti dan kita yang harus berubah.
kuno itu kadang lucu, kadang aneh, tapi pasti membekas.
kadang kita merindukan masa itu.
mendapatkan popcorn ala kadar sebagai peneman dan minuman soda sebagai pelengkap, sungguh mengenang adalah sebuah kemewahan.
letupan popcorn yang manis, asin, atau hanya tawar berpadu rasa dengan tendangan sensasi yang nyata dari soda, menari-nari dalam mulut.
sebuah romansa manis film, popcorn, dan soda dalam sebuah kenangan kuno yang menunggu.


langit bui

Langit -Budi Bui-

Namanya Budi, lengkapnya Budi Bui. Orang-orang memanggilnya Dik. Konon dia lahir di penjara, itulah alasan kenapa di deretan namanya ada Bui. Konon katanya juga Ibu sipir penjara yang memberi dia nama Bui dan nama Budi sendiri berasal dari sang ibu, mungkin agar kelak si Budi tak memiliki budi pekerti seperti dia. Tapi itu konon katanya, kalau ditanya Budi cuma akan menjawab “Namaku begitu karena aku tidak ikut memberi nama!”

Dia pria yang kurang tampan tetapi memiliki sifat layaknya seorang tampan, dia misterius. Orangnya tidak banyak bicara, hanya sesekali saja jika dirasa perlu benar maka dia akan bicara. Itupan tidak banyak mungkin sepatah atau dua patah kata, seperti “Mbak, mie goreng dobel pakai telur!” Itu yang selalu dia pesan di kantin depan kampus, setelah itu dia duduk, makan, dan pergi keluar kantin seselesainya, untuk merokok di tempat langganannya. Aku pertama melihat dia waktu kegiatan ospek kampus. Tubuhnya waktu itu tambun dengan kepala plontos yang mengkilat seperti truk beroda banyak yang kap-nya baru saja dipoles. Beda dengan sekarang, dia kurus dan rambutnya gondrong. Dia diantara kawannya nampak seperti mahasiswa kadaluarsa. Tidak lagi mengkilat. Ketika tren sedang berubah menuju hal-hal yang berbeda dari gambaran mahasisiwa jaman dahulu dia memilih untuk melestarikan gambaran lama. Berambut gondrong dengan jeans pudar yang sobek di bagian tertentu, memakai kaus dengan warna-warna anti cerah dan bersepatukan sneaker bergaya lama yang dulu sempat ngetren, hitam polos. Waktu ospek dia termasuk rajin, tidak pernah telat atau salah membuat tugas. Dia, entah apa sebabnya selalu terlihat senang meski harus berlarian atau berpanasan. Waktu semua teman yang lain takut, dia tidak. Waktu yang lain mulai memberontak sambil berteriak protes tentang esensi dari semua kegiatan ospek, dia tidak. Katanya “Aku waktu itu sedang menantang mereka, sampai sejauh mana mereka mampu membuatku salah atau kalah. Ternyata mereka lemah.” Dik memang unik dan juga misterius. Hari ini dia sedang duduk di tempat kesukaannya. Menghisap rokok dan mengembus asap kelangit seakan-akan dia sedang melukis awan. Aku melihatnya dan tergoda untuk bicara dengannya.

“Enggak ada kelas dik?” aku membuka tanya.

“Harusnya ada tapi kata orang tata usaha dosen enggak masuk, jadi kelasnya hilang”

Itulah gaya Budi menjawab, singkat, lucu dan seenaknya. Tidak tahu apakah dia memang bercanda atau tidak.

“Lucu kamu dik” aku tertawa ringan

Lalu kita terdiam. Budi tetap asyik dengan dunianya yang entah wujudnya apa. Dia menghisap dalam rokoknya dan menghembus liar asapnya. Seliar penasaranku tentang apa yang sedang ia pikirkan dan mengapa dia sangat menyukai tempat ini. Matanya sering menatap langit. Kadang sesekali menatap di kejauhan, kearah rombongan gadis-gadis yang duduk didepan kami. Lalu, menatap kebawah tersenyum sebentar,berbisik pelan dan kembali menatap langit.

“Kamu lihat apa sih dik? Di atas sana?” tanyaku sekedar mencoba memecah sepi

“Langit” jawabnya singkat.

“Memang apa yang menarik?”

“Memang ada yang lebih menarik?” jawabnya dengan pertanyaan.

“Yah..benar juga, enggak tahu apa ada yang lebih menarik?” “Maksudku kenapa langit?”

“Kenapa juga bukan langit?” jawabnya lagi yang tidak menjawab.

“Susah ngomong sama kamu” tentu saja aku sedikit kesal.

“Iya, langit hari ini bagus!” akhirnya dia menjawab dengan jawaban.

Aku sedikit lega, setidaknya pembicaraan ini mulai menemukan arah kebenaran. Aku ikut mengamati langit. Memang langit cerah hari ini. Awannya bagus dan berarak. Kadang beberapa awan membentuk barisan dan bentuk-bentuk unik. Aku bisa berimajinasi sedikit mencoba menghubung-hubungkan bentukan langit itu dengan hal-hal disekitarku. Ada gugusan awan bulat besar yang membentuk tengkorak dan sangat mirip karena ada lubang dua di bagian atas yang membentuk mata dan satu yang lebih besar dibawah yang mirip mulut. Disebelahnya ada ada rombongan angin yang acak dan entah setelah sedikit dibayang-bayangkan bentuknya menyerupai tubuh wanita. Mungkin itu sebabnya Budi sering menatap langit lalu pindah ke gerombolan gadis didepan. Dia mungkin melihat hal yang sama denganku. Tentang melihat kebawah aku hanya bisa mengira-ngira. Mungkin dia sedang melihat puntung rokok yang berserakan dibawah dan awan tengkorak tadi seakan menegurnya.

“Kamu lihat apa? Budi menegurku yang tadi ikut diam dan asyik.

“Aku lihat tengkorak dan tubuh wanita!”

“Ah, aneh dan liar imajinasimu” Budi tertawa, sedikit mengina nampaknya.

“Lah..terus kamu lihat apa? Kamu juga sedang bermain dengan awan kan?”

“Enggak, aku cuma lihat langit” Jawabnya yang membuat bingung.

“Memang langit hari ini bagus ya? Dibanding kemarin?” Aku mulai bertanya untuk kembali masuk dalam akal.

“Enggak, sama saja dengan kemarin. Hari ini malah agak kurang cerah”

“Kurang cerah?” Tanyaku yang tetap bingung.

“Iya, mataharinya kalah terang dengan kemarin”

“Terus? Kamu susah dimengerti”

“Langit bagus karena susah ditebak, dia berubah-ubah”

“Lalu apa untungnya kalau dia berubah-ubah, kadang bagus kadang enggak?”

“Entahlah, buatku langit selalu bagus bagaimanapun kondisinya. Mau cerah apa tidak dia selalu diatas enggak susah buat dicari.” Budi menjawab sekenanya.

Aku mencerna jawaban Budi, ada benarnya juga dan membuatku berpikir. Langit memang setia menjaga jaraknya dengan bumi. Menjaga matahari agar tetap jauh, meski sering tetap panas tapi kalau itu sedikit saja lebih dekat entah bagaimana jadinya. Menjaga agar awan tetap bisa mencurahkan deras hujan yang menjengkelkan atau rintik hujan yang menggemaskan. Langit menjalankan fungsi sebagai wadah buat penghuninya, kemudian berfungsi bagi mereka, mahluk hidup, di bawahnya.

“Iya, langit memang bagus” jawabku akhirnya setuju.

“Dulu aku juga awalnya suka berimajinasi dengan awan” Budi mulai bicara lebih, Bui di deretan namanya yang membelenggu malas bicaranya telah runtuh nampaknya.

“Tapi aku akhirnya bosan” dia menghela nafas sambil melihat kearah depan, kearah gadis-gadis.

“Imajinasiku kurang dan terbatas, kadang-kadang aku terbentur dengan bentukan-bentukan yang sama.” Aku sedikit heran, Budi bercerita tanpa menunggu tanya. Seperti bukan lagi seorang yang misterius.

“Itu kadang membuatku frustasi. Rasanya seperti aku pelukis paling bodoh yang pernah ada, tidak bisa melukis awan di langit!” lalu dia tertawa.

“Mungkin kamu hanya kering ide” aku mencoba menenangkan.

“Mungkin, tapi aku juga sadar langit itu sudah indah dan gambar agungnya sudah ada. Untuk apa aku melukis di kanvas yang sudah ada lukisannya. Lebih baik dinikmati saja”

“Tapi bagus juga kan hal-hal seperti itu? Anggap saja kita sedang bermain dengan kreatifitas” Aku sedikit tidak setuju dengan dia.

“Aku tidak lagi menyebutnya kreatifitas kalau sudah menjadi kebiasaan. Kadang kita bisa karena kita sudah lelah akan sesuatu dan menjadikannya kebiasaan” Aku menjadi sangat terbiasa dengan hal-hal itu sampai akhirnya dengan mudah bentukan awan-awan yang aneh muncul dan itu tidak lagi menyenangkan.”

“Mungkin kamu benar tapi buatku ini hebat. Aku menyukainya. Dulu waktu aku kecil aku sering bermain dengan awan lalu sedikit-sedikit aku mulai tidak tertarik, atau lebih tepatnya banyak hal lain yang lebih menarik. Ini seperti kembali ke jaman kecilku dulu” Aku bernostalgia dengan sisi kanak-kanakku.

“Pasti berbeda! Awan dulu memiliki senyum dan wajah, dia berubah bentuk dan berbicara. Kadang lucu tapi juga seram terutama kala mendung gelap dan petir meraung-raung” Budi juga ikut mengenang. “Sekarang tidak, dia hanya bentukan-bentukan dan kita merasa berkuasa untuk mengaturnya dengan imajinasi kita. Tidak ada dialog seperti dulu yang ada hanya keinginan kita”

Perbincangan yang serius terhenti sejenak. Langit mulai mendung. Aku mengkernyitkan dahi membayangkan hujan yang mungkin sebentar lagi turun dan pakaian dirumah yang lupa kupindahkan dari jemuran di luar rumah. Sementara Budi tetap menatap langit, tak bereaksi. Dia menatap ke depan lalu menatap kebawah, berbisik sebentar kemudian menatap ke langit seperti biasa.

“Apa yang kamu bisikkan dari tadi?”

“Ah..tidak.. hanya bisikan biasa” dia menjawab sambil tersenyum lebar seperti ada yang tersembunyi. Membagi misteri seperti biasa. Budi Bui memang misterius.

Tak berapa lama setelah Budi menjawab hujan mulai turun cepat, rintik kemudian deras. Gerombolan gadis didepan berlarian mencari tempat teduh. Budi tersenyum lalu tertawa.

“Terima kasih langit!” serunya keras dan tiba-tiba.

Aku masih heran dengan apa yang dilakukannya. Sebelum sempat bertanya, tiba-tiba ada suara gadis dari belakang.

“Budi Bui! Apa yang kamu lakukan? Seorang gadis manis di belakang kami tiba-tiba memanggil. Rambutnya basah dan juga pakaiannya. Matanya menatap jahat tapi senyum di wajahnya menyamarkan itu. Budi hanya tersenyum sambil berbalik menatap padanya.

“Benar kataku kan?”

“Bagaimana caramu?” si gadis bertanya

“Sudah kubilangkan kalau hari ini pasti hujan? Jadi bagaimana?”

Gadis itu tertawa matanya tidak lagi jahat, kini berubah menjadi hangat sehangat tawa lucunya. Dia mendekati Budi, duduk disebelahnya, dan mencium pipi Budi lembut.

“Aku kalah, tapi ceritakan! Aku masih tidak percaya.

“Sudah kubilang kalau aku menatap langit sambil menghembus rokok pasti langit akan menurunkan hujan! Pasti Ra!” Budi tertawa penuh kemenangan.

Budi menatapku yang heran. Dia tersenyum lalu berkata

“Kawan, aku sudah tidak lagi bermain dengan bentukan awan. aku menghembus rokok ke langit minta agar dia mendung dan awan turunkan hujan deras, supaya gadis manis disebelahku ini kalah taruhan dan mencium pipiku” Budi tersenyum puas sambil memegang pipinya yang baru saja mendapat keajaiban.

“Lalu apa yang kamu bisikkan dan kenapa menatap kebawah setelahnya? Aku masih berusaha paham.

Budi tertawa lebih keras lagi dan mendekatkan mulutnya ke kupingku. Dia berbisik.

“Aku hanya memastikan kalau gadis ini masih ada di sana untuk melihat hujan itu turun. Lalu aku berbisik sambil melihat ke bawah, pada bumi untuk minta hujan. Karena cuma bumi yang berhak untuk minta pada langit kawan, bukan manusia.”

Aku terkejut. Air mukaku berubah perlahan, tersenyum kecil, sedang, lalu tertawa gila. Budi memang misterius. Dia mengerti bahwa langit tercipta untuk bumi dan bumi tercipta untuk langit. Manusia hanya ikut saja menumpang di bumi, parasit yang menjajah bumi dan memaksa langit untuk memenuhi imajinasinya, memberikan cahayanya, memberikan hujannya, lalu bersungut-sungut ketika semua terasa tidak pas untuknya. Dasar Budi! Dasar aku! Dasar manusia!